Kesehatan otak dan sistem saraf terus menjadi perhatian global karena tingginya jumlah penderita kondisi neurologis. Pada tahun 2021, lebih dari sepertiga populasi dunia, sekitar 3,4 miliar orang, terdampak kondisi seperti stroke, migrain, Alzheimer, demensia, epilepsi, serta komplikasi neurologis lainnya.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), gangguan neurologis telah menjadi penyebab utama penyakit dan kecacatan secara global, dengan peningkatan sebesar 18% sejak tahun 1990. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menangani gangguan neurologis adalah melalui pendekatan neurofisiologi.
Hal inilah yang membuat International Federation of Clinical Neurophysiology (IFCN) dan Perhimpunan Dokter Spesialis Neurologi Indonesia (PERDOSNI) menghadirkan konferensi global di bidang neurologi, The International Congress of Clinical Neurophysiology (ICCN) 2024 untuk pertama kalinya diadakan di Indonesia.
Jonathan Cole, MA, MSc, DM, FRCP, FTPS – Presiden IFCN menjelaskan, pendekatan neurofisiologi melibatkan studi aktivitas listrik di otak dan sistem saraf, untuk mendiagnosis dan memahami gangguan seperti epilepsi, kelainan tidur, dan cedera saraf.
Pendekatan ini melibatkan penggunaan EEG (elektroensefalogram), EMG (elektromiogram), dan EP (evoked potential) untuk menganalisis sinyal saraf dan memberikan intervensi yang tepat.
“Meskipun potensinya besar, kesadaran akan pentingnya pendekatan neurofisiologi dalam praktik medis sehari-hari masih terbatas. Banyak yang belum menyadari dampak signifikan yang dapat diberikan dari pendekatan ini dalam mengoptimalkan hasil pengobatan,” tambah Jonathan.
dr. Manfaluthy Hakim, Sp.S(K), sebagai Konvenor ICCN 2024 menyebutkan tema Clinical Neurophysiology of Diseases, kembali menekankan pentingnya pendekatan serta teknologi neurofisiologi seperti EEG, EMG, dan evoked potentials dalam memahami dan menangani penyakit saraf.
“Dengan pendekatan ini, kita dapat mengintervensi lebih dini, sehingga mengurangi dampak jangka panjang berbagai penyakit neurologis,” jelasnya.
ICCN 2024 diadakan secara penuh selama 5 hari, dengan program komprehensif yang mencakup dua hari workshop dan tiga hari simposium. Terdapat lebih dari 100 pembicara dari 30 negara yang akan membagikan pengetahuan, ilmu, dan penelitian terbaru dalam bidang neurologi, secara khusus pendekatan neurofisiologi.
Tahun ini, untuk pertama kalinya, Indonesia menjadi tuan rumah dari ICCN. dr. Manfaluthy Hakim, Sp.S(K), menyebutkan bahwa Indonesia memiliki jumlah penduduk dan lokasi geografis yang besar namun akses ke pemeriksaan dengan pendekatan neurofisiologi masih terbatas.
“Kehadiran ICCN di Indonesia diharapkan menjadi titik balik penting, tidak hanya dalam hal peningkatan pengetahuan medis, tetapi juga dalam memperkuat kolaborasi di seluruh Asia Tenggara,” kata dia.
Kongres ini bertujuan untuk membangun momentum, meningkatkan kesadaran, dan aksesibilitas terhadap pendekatan neurofisiologi di Indonesia dan negara-negara tetangga.
Dr. dr. Dodik Tugasworo P, Sp.S(K)MH menjelaskan forum ini menawarkan berbagai program komprehensif dengan pembahasan mendalam.
Salah satunya adalah pemaparan hasil riset terbaru mengenai dampak gangguan saraf terhadap kualitas hidup pasien, serta potensi pengembangan teknologi neurofisiologi yang lebih inovatif, termasuk penggunaan AI, untuk membantu pasien dengan kondisi kronis dan di daerah terpencil.
Salah satu topik menarik yang dibahas adalah studi penggunaan stimulasi otak non-invasif untuk penanganan penyakit Demensia (Alzheimer), yang menunjukkan hasil menjanjikan dalam memperlambat progresi penyakit.
Selain itu, forum ini juga menghadirkan Profesor David Burke dari University of Sydney, Australia, yang dikenal atas penelitiannya yang inovatif dalam neurofisiologi kontrol gerakan.
“Kami berharap forum ini akan berkontribusi pada perkembangan ilmu neurofisiologi dan juga menekankan pentingnya kerjasama lintas disiplin dan antarnegara dalam mengurangi beban penyakit neurologis. Dengan perkembangan ilmu neurofisiologi, kita memiliki kesempatan besar untuk mencegah, mendeteksi lebih awal, dan memberikan terapi yang lebih efektif bagi pasien,” tutup dr. Manfaluthy.