Akhir-akhir ini, BPA (Bisphenol-A) sering dituding sebagai salah satu risiko gangguan kesehatan. BPA memang sering berkontak dengan kita, tidak hanya pada kemasan pangan, melainkan juga pada barang-barang lain.
Mulai dari thermal paper yang digunakan pada kertas ATM/struk belanja, CD, peralatan olahraga, hingga peralatan medis seperti selang kateter dan tambalan gigi.
Sayangnya, BPA ditengarai bersifat sebagai endocrine disruptor, yang bisa menyerupai hormon estrogen, memicu pubertas dini pada anak perempuan, dan berefek pada kelenjar prostat.
Namun, benarkah demikian? Prof. Dr. Nugraha Edhi Suyatma, S.T.P., DEA – Guru Besar dalam bidang ilmu Rekayasa Proses Pengemasan Pangan, Teknologi Pangan IPB, yang juga ahli polimer menyebut BPA adalah bahan baku pembuatan jenis plastik polikarbonat dan epoksi.
“BPA diproses dengan bahan lain untuk menjadi polikarbonat. Kalau sudah jadi polikarbonat, dia menjadi material yang kuat. Kandungan BPA-nya sudah hampir tidak ada lagi, dan yang tersisa pun tidak mudah luruh,” paparnya dalam Diskusi Pakar di Forum NGOBRAS baru-baru ini.
Lebih jauh, Prof. Nugraha menjelaskan, sisa BPA yang ada pada kemasan polikarbonat atau epoksi baru dapat berpotensi bermigrasi hanya pada kondisi ekstrim.
“Polikarbonat itu sangat tahan panas; melting point-nya (titik leleh) 200 derajat Celcius. Proses distribusi pun misalnya terkena panas dan sinar matahari selama perjalanan, tidak akan lebih dari 50 derajat. Jadi risiko migrasi sangat kecil sebenarnya,” papar Prof. Nugraha.
Isu Bahaya BPA bagi Kesehatan: Tidak Terbukti secara Ilmiah
Dijelaskan oleh Dr. dr. Laurentius Aswin Pramono Sp.PD-KEMD, pedoman dunia kedokteran dan kesehatan yaitu evidence-based medicine (kedokteran berbasis bukti). Tingkat tertinggi dalam pembuktian ilmiah yaitu studi meta-analisis.
“Studi meta-analisis mengompilasi berbagai hasil penelitian lalu dianalisis lagi untuk melihat bagaimana hasil-hasil studi yang ada,” terang ahli endokrin-metabolik ini.
Ia melanjutkan, sintesis data harus berbasis penelitian pada manusia, bukan di laboratorium pada hewan coba. BPA diberikan secara sengaja dalam dosis yang sangat besar sehingga menimbulkan risiko kesehatan pada hewan coba.
“BPA tidak masuk ke guideline manapun sama sekali. Belum ada konsensus bahwa BPA menyebabkan diabetes atau kanker. Belum ada sama sekali. Belum ada bukti (penelitian ilmiah) pada manusia. Yang ada hanya penelitian di lab dengan hewan coba,” tandasnya.
Hal senada disampaikan oleh Prof. Nugraha. Menurutnya, studi-studi terkait BPA belum konsisten dan belum cukup kuat. Ia melanjutkan, penelitian di Makassar menemukan, uji migrasi dari BPA pada kemasan pangan berkisar antara 0,0001 – 0,0009 mg/kg, jauh dari batasan yang ditetapkan.
“Selain itu, temuan yang dilakukan oleh peneliti ITB mengemukakan bahwa BPA tidak terdeteksi pada galon dari empat merek yang banyak dikonsumsi di Indonesia. Hasilnya tidak terdeteksi melalui alat yang paling sensitif sekalipun,” paparnya.
Adapun TDI (tolerable daily intake) yang ditetapkan yaitu 4 mg/kg BB. Jadi misal berat badan (BB) 75 kg, maka batas asupan harian BPA maksimal yaitu (4 x 75) = 300 mg. Sekalipun air minum terpapar oleh BPA, kadarnya hanya 1/1.000 bagian.
“Butuh 10.000 liter air dalam sekali minum untuk bisa mendapatkan kadar BPA yang melebihi ambang batas aman. Itu kan hal yang mustahil,” ujar Dr. dr. Aswin.
Fakta lainnya, tubuh kita akan memetabolisme berbagai zat kimia termasuk BPA. BPA yang secara tidak sengaja masuk ke dalam tubuh, akan dibuang dan tidak terakumulasi di dalam tubuh.
“Hati atau liver bisa memecah rantai BPA, dan dibuang melalui saluran pencernaan lewat BAB. Ada sebagian yang masuk ke ginjal, dan dibuang melalui urin,” jelas Dr. dr. Aswin.