Penyebaran Penyakit RSV di Indonesia Meningkat, Lansia Jadi Kelompok Paling Rentan

Respiratory Syncytial Virus (RSV) adalah virus yang dapat menyebabkan infeksi pada paru-paru dan saluran pernapasan. Virus ini dapat menyerang semua usia, namun sangat rentan pada populasi lansia.

Para pakar kesehatan masyarakat mengungkapkan kekhawatiran mengenai risiko serius dari RSV pada orang lanjut usia dan individu yang memiliki penyakit penyerta.

Di Indonesia, jumlah lansia terus meningkat seiring dengan bertambahnya angka harapan hidup, diprediksi mencapai 14,6% dari total populasi pada tahun 2030.

Saat ini, sekitar 20,7% lansia menderita penyakit penyerta yang meningkatkan kerentanan mereka terhadap infeksi berat RSV. Suatu kondisi yang diperburuk oleh melemahnya sistem imun akibat penuaan, yang meningkatkan risiko komplikasi serius dan beban kesehatan masyarakat.

“RSV adalah virus pernapasan yang umum tetapi kurang dikenal, menular melalui inhalasi atau kontak dengan sekresi pernapasan dari individu yang terinfeksi. Biasanya virus ini menunjukkan gejala seperti hidung tersumbat, batuk, mengi, dan demam ringan,” jelas dr. Fariz Nurwidya, SpP(K), PhD dalam siaran pers.

Menegakkan diagnosis infeksi RSV sulit karena gejalanya mirip dengan infeksi pernapasan lainnya seperti flu, termasuk batuk, pilek, dan demam. Diagnosis memerlukan tes khusus yang sering kali mahal, memakan waktu, dan sulit diakses secara luas.

Akibatnya, lansia dan individu dengan penyakit penyerta seringkali tidak menyadari bahwa gejala mereka disebabkan oleh RSV, sehingga meningkatkan risiko komplikasi serius atau bahkan fatal.

“Hingga saat ini, belum ada pengobatan khusus untuk RSV pada orang dewasa, yang menambah tantangan dalam penanganannya,” tambahnya.

Meskipun RSV dapat menginfeksi kapan saja sepanjang tahun, penyebarannya lebih intensif selama bulan-bulan musim hujan dari September hingga Februari, dengan puncaknya pada bulan Oktober dan Desember.

Virus ini sangat menular dan dapat dengan mudah menyebar di dalam rumah tangga; satu orang yang terinfeksi dapat menginfeksi tiga orang lainnya. Meskipun sebagian besar individu dapat menularkan virus dalam 3-8 hari, lansia yang terinfeksi dapat menularkan virus untuk waktu yang lebih lama.

RSV sering digambarkan sebagai penyakit anak-anak di media sosial karena anak-anak juga memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, mirip dengan lansia. Namun, RSV memberikan beban yang lebih besar pada lansia.

Penelitian menunjukkan bahwa insiden rawat inap dan kematian akibat RSV jauh lebih tinggi pada lansia dibandingkan anak-anak. Lansia dengan kondisi tertentu seperti pneumonia, gagal jantung kongestif (CHF), asma, dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) memiliki risiko rawat inap yang lebih tinggi akibat infeksi RSV.

Selain itu, RSV dapat menyebabkan beragam komplikasi pernapasan yang serius pada lansia, termasuk henti napas dan gagal napas. Sekitar 30% orang dewasa yang lebih tua mungkin mengalami komplikasi jantung saat dirawat di rumah sakit karena RSV.

“Satu dari empat pasien RSV (24,5%) mungkin memerlukan perawatan profesional di rumah setelah keluar dari rumah sakit,” tambahnya.

Satu dari empat (26,6%) pasien tersebut dirawat kembali dalam waktu tiga bulan setelah keluar dari rumah sakit, dan lebih mencemaskan, tiga dari sepuluh (33%) dapat meninggal karena komplikasi terkait RSV dalam waktu satu tahun setelah dirawat di rumah sakit.

Prediksi kejadian infeksi akibat RSV dalam 3 tahun di Asia Tenggara mencapai 15,2 juta kasus, dan di Indonesia, diperkirakan dapat mencapai 6,1 juta kasus.

Dr. Fariz menambahkan bahwa pihaknya mencatat peningkatan tingkat positif kejadian RSV di antara subjek yang diuji pada tahun 2024 dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Temuan ini menunjukkan beban infeksi RSV yang signifikan, menggambarkan “fenomena gunung es,” di mana jumlah kasus terdeteksi hanya sebagian kecil dari total kasus yang sebenarnya terjadi di populasi.

“Dengan populasi lansia di Indonesia yang terus meningkat, potensi beban kesehatan dan ekonomi akibat RSV pada orang dewasa perlu menjadi perhatian serius,” ucapnya.

Seiring dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan angka harapan hidup rata-rata masyarakat Indonesia, pencegahan RSV melalui vaksinasi dan edukasi merupakan langkah penting untuk mengurangi dampaknya, terutama pada kelompok berisiko tinggi.

Memahami hal ini, diadakan pertemuan RespiVerse tahunan ketiga pada 13 dan 14 Desember 2024 di Bangkok, Thailand.

Acara ini mempertemukan para pakar internasional ternama dan tenaga kesehatan dari berbagai negara untuk membahas tantangan global dalam penyakit pernapasan, dengan fokus pada solusi inovatif serta strategi kolaboratif untuk meningkatkan kesehatan pernapasan secara global.

Dalam upaya meningkatkan kualitas perawatan klinis dan hasil pengobatan baru untuk jutaan pasien dengan penyakit pernapasan, dilakukan kerja sama antara dokter spesialis dan ahli dari seluruh dunia.

Brasil memberikan dukungan dalam penelitian dan pengembangan vaksin, produk biologis, dan obat inhalasi untuk mengatasi penyakit pernapasan seperti asma, PPOK, dan RSV. Teknologi terbaru digunakan untuk mengatasi penyebab utama penyakit ini agar pasien memperoleh hasil pengobatan yang lebih baik.

Pertemuan RespiVerse tahun ini menghadirkan pembicara dan peserta internasional terkemuka dari berbagai wilayah, termasuk Asia Tenggara, Amerika Latin, dan Amerika Tengah. Acara ini mengintegrasikan sains, teknologi, dan keahlian untuk mengidentifikasi tantangan klinis utama dalam bidang pernapasan.

Tujuannya adalah untuk mengembangkan konten ilmiah guna meningkatkan pengetahuan serta praktik profesional dokter paru di berbagai belahan dunia. Panel ahli akan membahas empat patologi pernapasan utama: asma ringan, asma berat, PPOK, dan RSV.

“Pencegahan adalah kunci dalam kesehatan masyarakat, khususnya untuk mengatasi penyakit pernapasan seperti RSV, yang lebih umum dan dapat berbahaya dibandingkan flu. Dengan memprioritaskan pencegahan, kami berharap dapat mengurangi beban RSV dan mendukung terbentuknya komunitas yang lebih sehat di seluruh dunia, terutama dalam menghadapi populasi global yang semakin menua,” tutup Dr. Arnas Berzanskis.

Source link

Scroll to Top